Selasa, 18 September 2012


Mitos-Mitos Dalam Kebudayaan Suku Sasak

Mitos memang tidak akan pernah hilang dalam kehidupan umat manusia dimanapun berada, apalagi masyarakat yang masih menjaga nilai-nilai tradisional. Banyak diantara mitos-mitos tersebut yang kadang kala dijadikan sebagai kepercayaan, bahkan melebihi kepercayaan terhadap tuhan sekalipun. Selain itu, mitos juga dijadikan sebagai landasan terbentuknya suatu kebudayaan, lalu peradaban. Dan pada akhirnya mitos tersebut dipelihara dan terus dipercaya sampai era modern saat ini.
Hal ini pula yang berlaku bagi masyarakat Suku Sasak Lombok, khususnya lagi masyarakat yang masih kental dengan aroma tradisionalitas. Beberapa mitos diantaranya sangat mengikat masyarakat sampai saat ini.
Berikut beberapa diantaranya yang masih sangat populer sampai saat ini:
1. Bau Nyale
Bau Nyale dalam bahasa Indonesia bertuliskan Menangkap Nyale (Cacing Wawo/Palopo dalam ilmu Biologi). Setiap memasuki atau mengakhiri bulan Februari, masyarakan Suku Sasak Lombok akan mempersiapkan diri untuk gelaran akbar Bau  Nyale ini. Bau Nyale umumnya dilakukan hanya semalam, yakni pada malam puncak ketika Cacing-cacing ini banyak bermunculan di sekitaran pantai selatan. Nyale inilah yang nanti akan disantap dan memang sangat lezat, misalnya jika digoreng kering sambal atau dimasak dengan kuah santan kental.

"PERESEAN"

Inilah salah satu  kebudayaan yang terdapat di gumi sasak "PERESEAN" yakni sebuah pertarungan antara dua (Pepadu) sebutan untuk petarung dalam bahasa sasak yang bersenjatakan tongkat rotan (Penyalin) dan menagkis serangan lawan menggunakan perisai yang di buat dari kulit sapi atau kerbau (Ende).
Peresean ini melibatkan petarung2 dari berbagai desa. Peresean juga bagian dari upacara adat di pulau Lombok dan termasuk dalam seni tarian suku sasak. Seni peresean ini menunjukkan keberanian dan ketangkasan seorang petarung (pepadu), kesenian ini dilatar belakangi oleh pelampiasan rasa emosional para raja dimasa lampau ketika mendapat kemenangan dalam perang tanding melawan musuh-musuh kerajaan, disamping itu para pepadu pada peresean ini mereka menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan dalam bertanding. Yang unik dalam pertarungan ini adalah pesertanya tidak dipersiapkan sebelumnya alias para petarung diambil dari penonton sendiri, artinya penonton saling tantang antar penonton sendiri dan salah satu pemain akan kalah jika kepala atau anggota badan sudah berdarah2…

Masing-masing pepadu/pemain yang akan bertanding membawa sebuah perisai (ende) dengan alat pemukul yang terbuat dari sebilah rotan, dalam pertanding ini dipimpin oleh seorang wasit (pekembar). Wasit ini ada dua macam, yakni wasit pinggir dan wasit tengah. Wasit pinggir (pekembar sedi) yang mencari pasangan pemain dari penonton yang akan bertarung, sedangkan wasit tengah (pekembar tengaq) yang akan memimpin pertandingan. Pada umumnya para pepadu yang bertarung oleh pekembar mempunyai awiq-awiq dengan menggunakan sistem ronde atau tarungan, masing-masing pasangan bertarung selama lima ronde, yang akhir ronde / tarungan tersebut ditandai dengan suara pluit yang ditiup oleh pekembar tengaq (yang memimpin pertandingan). Aturan yang dipakai adalah pemain tidak boleh memukul badan bagian bawah (kaki/paha) tetapi hanya diperbolehkan memukul tubuh bagian atas (kepala, pundak, punggung). Jika salah satu pepadu bisa memukul kepala maka skor yang didapet pasti tinggi, palagi kepala lawan sampe bocor….weeewww … Peresean ini disamping tongkat pemukul dari rotan yang digunakan oleh masing-masing pepadu, juga ada musik pengiring yang akan memberikan semangat kedua petarung sekaligus sebagai pengiring kedua petarung untuk menari. Lho kok menari..?? Iya menari, itu merupakan jeda istirahat sejenak sebelum melanjutkan pertarungan sekalian sebagai ajang adu gertakan (psywar) bagi lawan. Jadi sehabis pertarungan sengit wasit biasanya menghentikan sejenak pertarungan, nah disanalah kedua petarung menari sambil mempelajari lagi kekuatan lawan. Alat-alat musik yang digunakan sebagai pengiring terdiri dari gong, sepasang kendang, rincik/simbal kajar serta suling (gamelan).

Peresean sering juga ditampilkan menyambut tamu-tamu atau wisatawan mancanegara yang datang berkunjung ke Lombok, dan mereka menilai permainan dan atraksi itu cukup unik karena kedua petarung saling pukul dengan rotan yang mengakibatkan kepala dan badannya terluka parah, namun selesai pertandingan mereka saling berpelukan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, atau dengan kata lain tidak ada dendam.


Tradisi Bau Nyale


BERLATAR dari sebuah legenda tentang Putri Mandalika, warga Lombok menggelar bau nyale setiap tahunnya pada bulan purnama. Tahun ini, tradisi bau nyale kembali digelar dan siap menyedot wisatawan.


Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, memiliki sebuah kawasan wisata pantai yang sangat indah dan ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun asing. Kawasan tersebut adalah Pantai Seger Kuta, terletak di bagian selatan Pulau Lombok, sekira 65 kilometer dari Mataram. Selain panorama alamnya, kejernihan pantai ini juga menjadikannya ideal untuk berenang.



Ada satu daya tarik tak kalah eksotis bagi wisatawan Pantai Seger Kuta. Setiap tahun, tepatnya antara Februari dan Maret, pantai ini menggelar sebuah pesta atau upacara bernama bau nyale. Kata "bau" berasal dari bahasa Sasak berarti "menangkap" sedangkan kata "nyale" berarti sejenis cacing laut yang hidup di lubang-lubang batu karang di bawah permukaan laut.

Pesta bau nyale adalah tradisi yang melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi suku Sasak, suku asli Pulau Lombok. Keberadaan pesta ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Lombok Tengah bagian selatan, tepatnya pada masyarakat Pujut, sebuah kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Lombok Tengah.

Cerita berkisah tentang seorang putri yang sangat arif bernama Putri Mandalika. Ia adalah putri dari seorang raja yang pernah memerintah negeri Lombok. Wajahnya yang elok, tubuhnya yang ramping, dan perangainya yang baik membuat para pengeran dari berbagai negeri berkeinginan untuk memperistrinya. Setiap pangeran yang datang melamar, ia tak pernah menolaknya.

Namun, antara pangeran yang satu dan pangeran lainnya keberatan jika sang putri diperistri oleh banyak pangeran. Hal inilah yang dikhawatirkan Putri Mandalika menjadi pemicu terjadinya perang antara pangeran. Sang putri gelisah dan selalu termenung memikirkan cara mencegah pertumpahan darah.

Agar tak terjadi perang, Putri Mandalika pun menyerahkan cintanya untuk seluruh pangeran dan rakyatnya. Melalui sebuah peristiwa alam, yang ditandai dengan angin besar, suara gemuruh dan hujan deras, di saat bulan purnama, sang putri menenggelamkan dirinya ke laut. Tidak seorang pun dapat menemukan sang putri. Sebaliknya, yang muncul adalah nyale, sejenis cacing laut yang muncul dari bebatuan di pagi harinya. Dipercaya jika nyale yang warnanya sangat indah merupakan jelmaan Putri Mandalika.

Berdasarkan legenda itu, kini setiap tahunnya masyarakat Lombok menggelar pesta bau nyale. Jumlah cacing yang diperoleh dianggap tanda baik dan buruk nasib dan rejeki seseorang. Hasil tangkapan nyale ini dapat dinikmati masyarakat.


Tahun ini, tradisi bau nyale dilaksanakan pada Minggu, 12-23 Februari 2012 malam. Dalam menyambut pesta bau nyale, selama sepekan masyarakat Lombok mengadakan berbagai pesta budaya. Berbagai ritual dan acara budaya digelar di daerah Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah, dan pantai Kaliantan, Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.


Selain menangkap cacing, festival ini juga akan menampilkan lomba tradisional seperti Bekayaq, Cilokaq, Peresean, Begambus, berbalas pantun, dan lomba mendayung perahu. Ada juga pertunjukan kesenian, seperti wayang kulit, penginang robek, dan teater legenda Putri Nyale.



Oleh karena itu penduduk setempat percaya, bahwa nyale bukan hanya cacing biasa, tetapi dianggap sebagai makhluk suci yang membawa kesejahteraan bagi mereka yang menghormatinya atau kemalangan bagi mereka yang mengabaikannya.



Menjadi bagian dalam acara ini, Anda bisa merasakan kedekatan dan keceriaan penduduk setempat dalam balutan budaya eksotis dengan latar belakang pandangan pulau yang indah dan magis.

Upacara Perkawinan Sorong Serah Aji Krama


SASAK LOMBOK

Adat perkawinan pada masyarakat Sasak Lombok dikaitkan dengan upacara adat sorong serah aji kerama. Seorang pemuda (terune) dapat memperoleh seorang istri berdasarkan adat dengan dua cara yaitu: pertama dengan soloh (meminang kepada keluarga si gadis); kedua dengan cara merariq (melarikan si gadis), Setelah salah satu cara sudah dilakukan, maka keluarga pria akan melakukan tata cara perkawinan sesuai adat Sasak.

Upacara perkawinan Sasak Lombok sering dikaitkan dengan upacara adat perkawinan sorong serah aji kerama yang merupakan salah satu tradisi yang ada sejak zaman dahulu dan telah melekat dengan kuat serta utuh didalam tatanan kehidupan masyarakat suku Sasak Lombok, bahkan beberapa kalangan masyarakat baik itu tokoh agama dan tokoh masyarakat adat itu sendiri menyatakan bahwa jika tidak melaksanakan upacara adat ini akan menjadi aib bagi keluarga dan masyarakat setempat.
Sorong serah berasal dari kata sorong yang berarti mendorong dan serah yang berarti menyerahkan, jadi sorong serah merupakan suatu pernyataan persetujuan kedua belah pihak baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki dalam prosesi suatu perkawinan antara terune (jejaka) dan dedare (gadis).
Upacara sorong serah ini merupakan salah satu rangkaian upacara terpenting pada prosesi perkawinan adat Sasak Lombok. Adapun prosesi perkawinan Runutan adalah sebagai berikut:
1. Mesejati
Mengandung arti bahwa dari pihak laki-laki mengutus beberapa orang tokoh masyarakat setempat atau tokoh adat untuk melaporkan kepada kepala desa atau keliang/kepala dusun untuk mempermaklumkan mengenai perkawinan tersebut tentang jati diri calon pengantin laki-laki dan selanjutnya melaporkan kepada pihak keluarga perempuan.
2. Selabar
Mengandung maksud untuk memper maklumkan kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan yang ditindaklanjuti dengan pembicaraan adat istiadatnya meliputi aji kerama yang terdiri dari nilai-nilai 33-66-100 dengan dasar penilaian uang kepeng bolong atau kepeng jamaq, bahkan kadang-kadang acara selabar ini dirangkaikan dengan permintaan wali sekaligus.
3. Mengambil Wali
Yang dimaksud dengan mengambil wali adalah mengambil wali dari pihak perempuan bisa langsung pada saat selabar atau beberapa hari setelah pelaksanaan selabar dan hal ini tergantung dari kesepakatan dua belah pihak (kapisuka)
4. Mengambil Janji
Dalam pelaksanaan mengambil janji ini adalah membicarakan seputar sorong serah dan aji kerama sesuai dengan adat istiadat yang berlaku di dalam desa atau kampung asal calon mempelai perempuan.
5. Sorong Serah
Roh atau Inti dari pelaksanaan proses adat merariq ini adalah Sorong Serah Aji Krame, prosesi ini merupakan pengumuman resmi secara adat bahwa perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang disertai dengan penyerahan peralatan mempelai pihak laki-laki atau yang dikenal dengan piranti-piranti simbul adat. Sebab biasanya jika Prosesi ini tidak dilaksanakn maka kedepannya akan timbul pertanyaan sehingga timbul permasalahan baru secara intern
6. Nyongkolan
Dalam pelaksanaan nyongkolan keluarga pihak laki-laki disertai oleh kedua mempelai mengunjungi pihak keluarga perempuan yang diiringi oleh kerabat dan handai taulan dengan mempergunakan pakaian adat diiringi gamelan bahkan gendang beleq.
Adab dari Nyongkolan akan disaya tampilkan dperiode berikutnya.
7. Bales Ones Nae (Napak Tilas)
Merupakan salah satu tradisi untuk berkunjung ke rumah orang tua perempuan
secara khusus bersama kedua orang tua pihak laki-laki.

Gerabah Kerajinan Masyarakat Lombok


Gerabah adalah salah satu bentuk kerajinan tangan masyarakat lombok khususnya banyu mulek yang merupakan salah satu sentra gerabah dilombok.
Banyumulek adalah sebuah desa yang merupakan salah satu dari sentra industri kerajinan gerabah yang ada di Lombok dan terletak di kecamatan Kediri kabupaten Lombok Barat. Luas daerahnya mencapai kira-kira 4. 21 ha dengan jumlah penduduk 10.347 jiwa dan lebih dari 80 % di antaranya    menggantungkan hidup pada kerajinan gerabah.

Kerajinan gerabah di Banyumulek dan Lombok secara umum telah ada sejak dahulu kala dan diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi berikutnya dan begitu seterusnya sehingga keterampilan membuat gerabah dapat lestari sampai sekarang. Sejarah pembuatan gerabah bermula dari sebuah legenda yang berkembang di masyarakat yang menceritakan bahwa Dewi Anjani, penguasa Gunung Rinjani, mengutus seekor burung, manuk bere, untuk menolong dan mengajarkan cara menanak nasi kepada sepasang suami isteri yang baru pertama kali memanen hasil pertaniannya. Sang burung tersebut mengajarkan juga bagaimana cara membuat periuk dari tanah liat yang berasal dari dataran tinggi. Oleh karena itulah, masyarakat Sasak percaya bahwa sejak saat itulah keterampilan membuat gerabah berkembang dan diwarisi sampai sekarang.

Pada awalnya, pengerajin gerabah di Lombok dan Banyumulek memproduksi gerabah hanya untuk keperluan rumah tangga atau perabot dapur sesuai dengan asal muasalnya sesuai dengan legenda Dewi Anjani. Namun seiring dengan perkembangan dan pergeseran zaman, desain, fungsi dan nilai komersil gerabah Banyumulek atau Lombok pun turut bergeser. Dewasa ini, hampir 80% samapai 90% hasil kerajinan gerabah berfungsi sebagai dekorasi atau barang seni semata ketimbang barang fungsional. Perkembangan gerabah dari segala sisinya juga turut didukung oleh berkembangnya pariwisata di Lombok. Banyak di antara para wisatawan yang tidak hanya membeli gerabah Banyumulek sebagai souvenir tapi juga memesannya dalam jumlah banyak untuk dijual kembali di tempat asal para wisatawan tersebut. Kondisi ini membuat para pengerajin di Desa Banyumulek semakin terpacu untuk memperindah bentuk dan warna gerabahnya, meningkatkan kualitas dan memperbanyak pilihan dan ukuran.
 
Menyadari perkembangan dari gerabah ini semakin pesat dan dapat membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah daerah tidak tinggal diam. DISPERINDAG NTB melakukan sejumlah langkah antara lain memberikan bantuan secara teknis untuk meningkatkan kualitas gerabah, membina kerjasama dengan universitas, lembaga riset dan negara lain sperti New Zealand, dan mengikuti pameran hasil kerajinan tangan baik di dalam maupun di luar negeri untuk meningkatkan penjualan.

Saat ini gerabah Banyumulek dan Lombok secara umum telah menembus pasar dunia dengan 28 negara tujuan ekspor. Beberapa di antaranya adalah Amerika, Belanda, Italia, New Zealand, Spanyol, Norway, Denmark, Malaysia dll. Pada tahun 2002, nilai ekspor gerabah Banyumulek Lombok tercatat sekitar 1,116 juta dollar Amerika.
Selain Banyumulek, di Lombok terdapat beberapa desa lain yang juga menghasilkan gerabah denga kualitas ekspor sperti Desa Penujak Lombok Tengah dan desa Masbagik Lombok Timur. Dewasa ini, kerajinan gerabah telah menjadi harapan hidup lebih dari 10.000 pengerajin yang berasal dari ketiga desa tersebut di atas.

Di Indonesia, gerabah Lombok bersaing dengan gerabah Pleret dan gerabah Kasongan. Di luar negeri, saingan gerabah Banyumulek adalah gerabah Thailand. Namun demikian, gerabah Banyumulek Lombok punya daya saing yang baik karena bahan bakunya punya kandungan pasir kuarsa dan kaolinnya yang cukup tinggi. Selain itu gerabah Banyumulek Lombok sudah dilengkapi dengan sertifikat non toxic sehingga aman dipakai sebagai tempat menyajikan makanan.
gerabah banyumulek

Minggu, 16 September 2012

foto gerabah banyumulek lombok

                lisang pasir                            donal bambu                              spanyol

nama barang : pas sobek cat.
harga            : Rp. 100.000.
bahan           : tanah liat.
di gunakan untuk menaruh bunga di ruang tamu maupun di kamar hotel-hotel jika anda berminat anda bisa menghubungi saya melaui kontak persan dan email soal harga kita bisa nego.
hp     :081936739489
email : mus_lihin78@yahoo.com / muslihin.lihin@gmail.com




family tradition


family tradition


This vigorous folk art tradition is handed down  from mother  to daughter,providing  the main source of  income for the more than 1500 potter families of the three villages represented in the exhibition.Young women learn by helping  their mother and grandmother to make specific forms in which their family specialize. There is little innovasion. Making pots is part of the daily routine. The work space may be in the narrow space between houses shaded by a few woven coconut leaves , the shifting shade under  the eaves  of the house , or just on the doorstep. Drying pots share the